.......
Pengertian Nasionalisme
Pengertian nasionalisme menurut Ernest Gellner (via Eriksen 1993:99) adalah suatu prinsip politik yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Tepatnya, Gellner lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik (Iihat juga Habsbawm 1992:9). Lebih lanjut menurut Gellner, jika nasionalisme adalah suatu bentuk munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat mengerti dengan baik jika kita mendefenisikan apa itu gerakan dan sentimen.
Apa yang dimaksudkan sebagai suatu sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu bentuk antipati atau ungkapan marah, benci, dan lain sebagainya (Kartodirdjo 1972:69). Dari penawaran Gellner tersebut mengenai konsep sentimen dan gerakan, nampaknya telah menjadi penekanan dari Anderson dalam melihat nasionalisme.
Seperti dikemukakan oleh Eriksen (1993:100) bahwa Anderson fidak seperti Gellner yang lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik, tapi Anderson justru tertarik untuk memahami kekuatan dan kontinuitas dari sentimen dan idenbtas nasional. Meskipun berbeda perspektif, akan tetapi keduanya menekankan bahwa bangsa (nation) adalah suatu konstruksi ideologi yang nampak sebagai pembentuk garis antara (defenisi-diri) kelompok budaya dan state (negara), dan mereka membentuk komunitas abstrak berdasarkan perbedaan dari negara dynasti atau komunitas berdasarkan kekerabatan yang mendahului pembentukan mereka.
Pada intinya, nasionalisme memiliki tiga aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan berbegara yaitu: pertama, aspek cognitive, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya; kedua, aspek goal value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya; dalam hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; kefiga, aspek affective dari tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tersebut.
Kolonialisme Vs Nasionalisme
Kolonialisme di Indonesia sudah dirasakan semenjak tahun 1511, yaitu ketika portugis menundukkan Malaka. Kemudian ketika VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis dan menguasai perdagangan interinsuler di hampir seluruh Nusantara menunjukkan proses awal masuknya kolonialisme Belanda, terutama di Jawa ketika Raja Mataram menyerahkan kekuasaan atas daerah pantai utara Pulau Jawa kepada VOC pada tahun 1749.
Adapun eksploitasi kolonial di Indonesia, terutama di Jawa mulai dirasakan saat memasuki tahun-tahun pembubaran VOC pada tahun 1795, dan awal pembentukan Cultuurstelsel, terutama rencana Daendels membangun sarana dan prasarana yang membutuhkan pengerahan tenaga kerja paksa dan rencana Raffles menerapkan sistem pajak tanah. Puncaknya ketika Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 mengeluarkan kebijakan tentang eksploitasi negara tanah jajahan menjadi pedoman kerja pemerintah kolonial.
Adapun maksud dari kebijakan ini adalah dimaksudkan untuk mencapai "peningkatan semaksimal mungkin produksi pertanian untuk pasar Eropa". Kebijakan dan alasan kolonialisme pada tahun ini lebih bersifat ekonomi. Akan tetapi setelah permulaan abad ke 20 yang ditandai oleh perkembangan ekonomi yang sangat pesat, dibarengi pula kebijakan-kebijakan yang bersifat politis, yaitu adanya perluasan jabatan pemerintahan kolonial secara besar-besaran di Indonesia mulai dari keresidenan hingga ke distrik. Sistem pemerintahan kolonial pada fase ini lebih bersifat sentralistik yang ekstrim, birokrasinya yang kaku, dan otokrasinya yang mutlak. Tidak ada badan politik satupun yang menjadi alat penyalur suara rakyat. Berangkat dari fenomena tersebut, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertindas, jelas memunculkan suatu bentuk kesadaran tersendiri untuk melepaskan diri dari kungkungan dan ketertindasan kolonialisme. Bentuk kesadaran ini pada akhirnya mengarahkan pada suatu bentuk ikatan sentimen dan solidaritas sosial berupa rasa "nasionalisme".
Nasionalisme sebagai gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang khusus yang ditimbulkan oleh situasi kolonialisme. Antara nasionalisme dan kolonialisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab terdapat hubungan timbai balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan berproses dengan politik dan ideologi kolonial. Pada situasi kolonial, nasionalisme dianggap sebagai kekuatan sosial yang mempunyai orientasi terhadap masa depan, sedangkan ideologi dan politik kolonial melihat masa lampau.
Republik ini lahir dari perjuangan bersama seluruh rakyat Indonesia, maka rasa memiliki secara bersama begitu kuat, akan tetapi selama masa kemerdekaan, proses pembangunan politik, birokrasi pemerintahan dan pembangunan secara sosial-budaya serta ekonomi mengalami berbagai ketimpangan dan ketidakpuasan dari berbagai pihak atau kelompok.
Akibatnya, muncul berbagai akibat langsung yang kadang tidak disadari, yaitu lahirnya berbagai bentrokan kepentingan politik, ketidakpuasan dan peta-peta politik baru yang justru dapat menghambat proses pembangunan bangsa yang telah menjadi komitmen bersama seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya muncul dari kalangan pemerintah dan pejabat atau organisasi di sekitar pemerintah pusat, akan tetapi justru banyak yang muncul di daerah. Implikasinya lebih lanjut adalah jika reaksi ini tidak diakomodir dengan baik, maka akan semakin menguatkan rasa sentimen kelompok politik tertentu atau sentimen kedaerahan yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Jika kita kembali melihat fenomena perkembangan politik kita dewasa ini, gerakan-gerakan dan sentimen kedaerahan yang muncul sekitar tahun 1900-an, tahun 1960-an muncul kembali pada tahun masa sekarang ini dengan tuntutan yang sama. Misalnya, munculnya gerakan Falintil di Timor-Timur, dan bahkan sudah lepas dari kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya, Sulawesi atau Makassar Merdeka di Sulawesi Selatan serta Federasi Kalimantan Timur yang kesemuanya muncul sebagai sebagai reaksi atas ketidakpuasan mereka mengenai proses pembangunan secara fisik, sosial, budaya den ekonomi yang tidak berimbang atau timpang selama ini.
Dari rasa ketidakpuasan tersebut, memunculkan suatu bentuk kesadaran atau sentimen kedaerahan yang cukup mendalam, sehingga mereka menginginkan lepas secara total dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagian juga meminta sebagai Negara Federasi. Bibit perpecahan dan sentimen ini sebenarnya telah ada dan sangat dirasakan sejak dibentuknya BPUPKI dan PPKI dengan maksud merumuskan Pembukaan, Batang Tubuh serta Penjelasan UUD 1945.
Dalam upaya perumusan tersebut, nilai-nilai budaya Jawa dan luar Jawa sangat mewarnai seluruh proses perumusan tersebut, terutama perumusan sila-sila dari Pancasila.
0 komentar:
Posting Komentar